Tuesday 20 October 2015

I Never Regret My Decision



Setahun sudah aku tinggal di tanah Sumba ini. Itu artinya setahun sudah aku meninggalkan my dream job, dan mengikuti suamiku tercinta yang mengabdi di sini. Aku sekarang menjadi ibu rumah tangga tapi belum ada anak, stay at home dan bergulat dengan pekerjaan rumah tangga yang tiada habis-habisnya.
Kalau di tulisan terakhirku tentang jobseeker story dulu aku bercerita tentang perjuanganku mendapatkan pekerjaan yang sesuai passion, dan bagaimana tantangan-tantangan yang aku hadapi dari orang-orang sekitar ketika aku mengambil pekerjaan itu, sekarang tantangannya lebih lagi. Kalo dulu orang-orang, khususnya ortu dan kakak2ku meragukan pilihanku karena mengambil pekerjaan yang tidak sesuai dengan latar belakang pendidikanku, dengan gaji yang mereka anggap “kurang sesuai untuk S2”, kebayang kan sekarang respon mereka gimana setelah aku resign dari pekerjaanku?

Flashback dulu sebentar lah ya. Jadi setelah aku bekerja di NGO yang waktu itu, aku menemukan bahwa aku sebenarnya adalah orang yang cepat belajar. Aku segera menguasai bidang baru yang harus kupelajari untuk pekerjaanku yang berhubungan dengan community livelihood, climate change, sustainable environment dan disaster risk management (while my background was chemical engineering). By the grace of God tentunya, aku berhasil menyelesaikan salah satu project di NGO itu dengan cukup baik. Bahkan banyak inisiatif baru yang kami kerjakan disitu yang tidak ada di area layanan lain NGO tersebut di Indonesia. Aku diberi kesempatan juga waktu itu untuk mempresentasikan hasil project ini di forum internasional. Singkat cerita, aku menikmati pekerjaan yang kulakukan dan karirku cukup bagus.
Di sisi lain dari cerita ini, aku bertemu calon suamiku ketika kami masih sama-sama jadi Management Trainee di NGO ini. Kami bekerja di organisasi yang sama, tapi di area layanan yang berbeda. Aku di Sambas, Kalimantan Barat, sementara dia di Sumba Timur, NTT. Kami memiliki passion dan mimpi yang sama, makanya dari situ kami nyambung lah ya. Setelah 2 tahun menjalani pacaran jarak jauh, akhirnya kami menikah Juli 2014. Dari sini kerumitan mulai terjadi. Ada kebijakan di organisasi kami bahwa suami-istri tidak bisa bekerja di bawah satu atasan langsung yang sama. Saat itu memang kami tidak berada di bawah satu atasan langsung karena area kami berbeda. Tapi berhubung kami masih sama-sama staff kontrak, ada kebijakan lain lagi yang mengharuskan salah satu dari kami mengundurkan diri setelah kontraknya habis. Kontrak kami berakhir February 2015, dan setelah itu, salah satu dari kami tidak bisa di-rehire atau diperpanjang kontraknya. And I chose to be that person.
Atasanku, salah satu direktur di kantor pusat menawarkan beberapa alternatif. Projectku di sambas selesai September 2014, setelah itu aku akan dipindahkan. Ada dua posisi yang ditawarkan ke aku, yang satu di Kupang, satu lagi di Jakarta. Dan kalau itu aku ambil, pihak kantor pusat akan mengusahakan juga untuk aku dan suamiku di permanenkan, sehingga tidak harus ada yang keluar. Suatu tawaran promosi yang bagus. Tapi setelah diskusi yang panjang dengan suamiku, aku akhirnya tetap memutuskan untuk resign. Apalah artinya aku mempunya karir yang bagus, kalau aku dan suamiku harus hidup terpisah-pisah. Oya, aku tidak mungkin bisa juga bekerja di area tempat suamiku bekerja di Sumba Timur, karena kami tidak boleh berada dibawah satu atasan langsung. Akhirnya, 30 Sept 2014 adalah hari terakhirku bekerja. Aku resign setelah projectku selesai, meskipun kontrakku belum habis. Oktober 2014, aku pindah ke Sumba untuk mendampingi suamiku.
Pergolakan mulai terjadi di awal-awal kepindahanku ke Sumba. Yang pertama tentunya pergolakan batin dari diriku sendiri. Suatu keputusan sulit telah aku ambil, dan tentunya ini beresiko. Menjadi stay at home wife ternyata tidak mudah. Dari yang tadinya sibuk dengan pekerjaan dan terbiasa mandiri, sekarang semuanya tiba-tiba sunyi di sekitarku. Kalau suamiku pergi ke kantor aku pasti sendirian di rumah, hanya ditemani TV yang aku biarkan terus-menerus bersuara. Di bulan-bulan pertama, rasa kesepian, bosan, dan merasa seperti tidak melakukan apa-apa tentunya berkali-kali menyergapku. Tak jarang juga aku bertanya-tanya, mengapa aku ambil keputusan ini, buat apa aku sekolah tinggi-tinggi, dan mengapa sekarang aku disini. Ditambah lagi ketika aku melihat teman-temanku di facebook, sebagian besar sudah berada di puncak karirnya. Memang lah ya, kadang emang gak bagus terlalu sering liat fesbuk dan liat orang lain, hehehe. Pergolakan yang kedua tentu saja datang dari keluargaku, terutama ibu dan kakak2ku. Thankfully, bapakku lebih nyantai, gak terlalu kuatir dengan keputusanku, haha. Tapi ibu dan kakakku terus menerus menanyakan aku sudah bekerja atau belum, dan menyayangkan mengapa aku resign, like I haven’t had enough questions from myself. Lama-lama aku stress juga, dan suamiku lah yang jadi korbannya (sorry, honey). Untungnya, suamiku ini bener-bener takut akan Tuhan, sabar dan bijaksana, not to mention smart and very good looking as well, haha. Dia yang terus menerus menguatkan dan memotivasi aku bahwa value ku tidak ditentukan dari karir, gaji, atau apa yang aku kerjakan. Dia terus mengingatkan bahwa aku berharga di mata Tuhan dan di matanya, no matter what people say. Selain itu aku melihat bahwa penyertaan Tuhan luar biasa atas kami. Meskipun kami yang tadinya gajinya dari 2 orang dan sekarang hanya mengandalkan gaji 1 orang aja, tidak pernah sedikitpun kami kekurangan.
Setahun sudah aku di tanah Sumba. Sekarang aku bisa melihat keluar dari kotak ke’aku’an ku. Aku melihat kondisi anak-anak, masyarakat, dan alam disini. They need God, they need help. Dan aku percaya, Tuhan tempatkan aku bersama suamiku disini untuk suatu tujuan yang mulia. Aku akan melihat akhir dari cerita ini nanti. Saat ini, aku akan terus berproses bersama Tuhan. Sekali lagi kesombonganku harus dihancurkan, dan aku harus belajar kembali tentang kerendahan hati, humility comes before honour. Aku akan melakukan apapun yang aku bisa untuk menjadi berkat disini. However, I never regret my decission. Sumba adalah tempat yang sangat cantik. I’m so blessed.

Pantai-pantai di Sumba

Bukit-bukit di Sumba

No comments:

Post a Comment