Setahun sudah aku tinggal di
tanah Sumba ini. Itu artinya setahun sudah aku meninggalkan my dream job, dan mengikuti suamiku
tercinta yang mengabdi di sini. Aku sekarang menjadi ibu rumah tangga tapi
belum ada anak, stay at home dan
bergulat dengan pekerjaan rumah tangga yang tiada habis-habisnya.
Kalau di tulisan terakhirku
tentang jobseeker story dulu aku bercerita
tentang perjuanganku mendapatkan pekerjaan yang sesuai passion, dan bagaimana tantangan-tantangan yang aku hadapi dari
orang-orang sekitar ketika aku mengambil pekerjaan itu, sekarang tantangannya
lebih lagi. Kalo dulu orang-orang, khususnya ortu dan kakak2ku meragukan
pilihanku karena mengambil pekerjaan yang tidak sesuai dengan latar belakang
pendidikanku, dengan gaji yang mereka anggap “kurang sesuai untuk S2”, kebayang
kan sekarang respon mereka gimana setelah aku resign dari pekerjaanku?
Flashback dulu sebentar lah ya.
Jadi setelah aku bekerja di NGO yang waktu itu, aku menemukan bahwa aku
sebenarnya adalah orang yang cepat belajar. Aku segera menguasai bidang baru
yang harus kupelajari untuk pekerjaanku yang berhubungan dengan community livelihood, climate change, sustainable environment dan disaster risk management (while my background was chemical engineering).
By the grace of God tentunya, aku
berhasil menyelesaikan salah satu project di NGO itu dengan cukup baik. Bahkan
banyak inisiatif baru yang kami kerjakan disitu yang tidak ada di area layanan lain
NGO tersebut di Indonesia. Aku diberi kesempatan juga waktu itu untuk
mempresentasikan hasil project ini di forum internasional. Singkat cerita, aku
menikmati pekerjaan yang kulakukan dan karirku cukup bagus.
Di sisi lain dari cerita ini,
aku bertemu calon suamiku ketika kami masih sama-sama jadi Management Trainee
di NGO ini. Kami bekerja di organisasi yang sama, tapi di area layanan yang
berbeda. Aku di Sambas, Kalimantan Barat, sementara dia di Sumba Timur, NTT.
Kami memiliki passion dan mimpi yang sama, makanya dari situ kami nyambung lah
ya. Setelah 2 tahun menjalani pacaran jarak jauh, akhirnya kami menikah Juli
2014. Dari sini kerumitan mulai terjadi. Ada kebijakan di organisasi kami bahwa
suami-istri tidak bisa bekerja di bawah satu atasan langsung yang sama. Saat itu memang kami tidak berada di
bawah satu atasan langsung karena area kami berbeda. Tapi berhubung kami masih
sama-sama staff kontrak, ada kebijakan lain lagi yang mengharuskan salah satu
dari kami mengundurkan diri setelah kontraknya habis. Kontrak kami berakhir
February 2015, dan setelah itu, salah satu dari kami tidak bisa di-rehire atau diperpanjang kontraknya. And I chose to be that person.
Atasanku, salah satu direktur
di kantor pusat menawarkan beberapa alternatif. Projectku di sambas selesai
September 2014, setelah itu aku akan dipindahkan. Ada dua posisi yang
ditawarkan ke aku, yang satu di Kupang, satu lagi di Jakarta. Dan kalau itu aku
ambil, pihak kantor pusat akan mengusahakan juga untuk aku dan suamiku di
permanenkan, sehingga tidak harus ada yang keluar. Suatu tawaran promosi yang
bagus. Tapi setelah diskusi yang panjang dengan suamiku, aku akhirnya tetap
memutuskan untuk resign. Apalah artinya aku mempunya karir yang bagus, kalau
aku dan suamiku harus hidup terpisah-pisah. Oya, aku tidak mungkin bisa juga
bekerja di area tempat suamiku bekerja di Sumba Timur, karena kami tidak boleh
berada dibawah satu atasan langsung. Akhirnya, 30 Sept 2014 adalah hari
terakhirku bekerja. Aku resign setelah projectku selesai, meskipun kontrakku
belum habis. Oktober 2014, aku pindah ke Sumba untuk mendampingi suamiku.
Pergolakan mulai terjadi di
awal-awal kepindahanku ke Sumba. Yang pertama tentunya pergolakan batin dari
diriku sendiri. Suatu keputusan sulit telah aku ambil, dan tentunya ini
beresiko. Menjadi stay at home wife
ternyata tidak mudah. Dari yang tadinya sibuk dengan pekerjaan dan terbiasa
mandiri, sekarang semuanya tiba-tiba sunyi di sekitarku. Kalau suamiku pergi ke
kantor aku pasti sendirian di rumah, hanya ditemani TV yang aku biarkan
terus-menerus bersuara. Di bulan-bulan pertama, rasa kesepian, bosan, dan merasa
seperti tidak melakukan apa-apa tentunya berkali-kali menyergapku. Tak jarang
juga aku bertanya-tanya, mengapa aku ambil keputusan ini, buat apa aku sekolah
tinggi-tinggi, dan mengapa sekarang aku disini. Ditambah lagi ketika aku
melihat teman-temanku di facebook, sebagian
besar sudah berada di puncak karirnya. Memang lah ya, kadang emang gak bagus
terlalu sering liat fesbuk dan liat orang lain, hehehe. Pergolakan yang kedua
tentu saja datang dari keluargaku, terutama ibu dan kakak2ku. Thankfully, bapakku lebih nyantai, gak
terlalu kuatir dengan keputusanku, haha. Tapi ibu dan kakakku terus menerus
menanyakan aku sudah bekerja atau belum, dan menyayangkan mengapa aku resign, like I haven’t had enough questions from
myself. Lama-lama aku stress juga, dan suamiku lah yang jadi korbannya
(sorry, honey). Untungnya, suamiku ini bener-bener takut akan Tuhan, sabar dan
bijaksana, not to mention smart and very
good looking as well, haha. Dia yang terus menerus menguatkan dan
memotivasi aku bahwa value ku tidak
ditentukan dari karir, gaji, atau apa yang aku kerjakan. Dia terus mengingatkan
bahwa aku berharga di mata Tuhan dan di matanya, no matter what people say. Selain itu aku melihat bahwa penyertaan
Tuhan luar biasa atas kami. Meskipun kami yang tadinya gajinya dari 2 orang dan
sekarang hanya mengandalkan gaji 1 orang aja, tidak pernah sedikitpun kami
kekurangan.
Setahun sudah aku di tanah
Sumba. Sekarang aku bisa melihat keluar dari kotak ke’aku’an ku. Aku melihat
kondisi anak-anak, masyarakat, dan alam disini. They need God, they need help.
Dan aku percaya, Tuhan tempatkan aku bersama suamiku disini untuk suatu tujuan
yang mulia. Aku akan melihat akhir dari cerita ini nanti. Saat ini, aku akan
terus berproses bersama Tuhan. Sekali lagi kesombonganku harus dihancurkan, dan
aku harus belajar kembali tentang kerendahan hati, humility comes before honour. Aku akan melakukan apapun yang aku
bisa untuk menjadi berkat disini.
However, I never regret my decission. Sumba adalah tempat yang sangat
cantik. I’m so blessed.
Pantai-pantai di Sumba |
Bukit-bukit di Sumba |
No comments:
Post a Comment